Sabtu, 29 Desember 2018

Sehari di “Kota Mainan” Macau, Rasa Eropa di Asia



Macau, sebuah wilayah administratif yang letaknya di pesisir selatan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) ini, bisa dibilang termasuk wilayah yang baru. Ya, karena Macau lahir di tahun 1999. Ibarat umur manusia, usia Macau (di tahun 2018) lagi asik-asiknya nikmatin masa peralihan dari remaja menuju dewasa. Lagi asik bergaya, berdandan, dan nunjukkin jati dirinya. Ya, gak beda emang, karena kalo kita ke Macau, kota ini emang lagi asik “bergaya” sama caranya sendiri. Untungnya, saya dapet kesempatan mengunjungi Macau di waktu yang tepat, di saat lagi “cantik-cantiknya”.


Saya ke Macau pas pertengahan tahun 2017, tepatnya pas musim panas di awal bulan Agustus. Sebuah perjalanan di musim panas yang lagi panas-panasnya. Kira-kira jam setengah tujuh pagi – kalo di Indonesia (WIB) masih jam 05.30, karena perbedaan waktunya sejam – saya keluar dari Aeroporto Internacional de Macau, dan saya naik penerbangan perdana yang direct dari Jakarta ke Macau, pake salah satu maskapai penerbangan yang ada embel-embel nama Asianya. Yes, dapet pengalaman pertama kali kena water salute dong. Sebentar, kita ada di Macau atau di Eropa sih? Kok nama bandaranya gitu? Ya, jangan heran di sini kita bakal sering nemuin nama-nama tempat yang berbau Eropa. Lanjut, yang di bayangan saya, keluar dari bandara jam setengah tujuh pagi, yang dirasain mesti udara sejuk yang enak buat dihirup. Salah. Salah banget. Jam setengah tujuh pagi di musim panas di sini, udah kayak jam 11 siang di Jakarta, kayaknya.



Oh, iya, kayaknya udah pada tau kalo Macau punya julukan Las Vegas-nya Asia. Gak salah emang pernyataan itu, karena kalo kita ke sini, kita bakal gampang banget nemuin yang namanya casino dan pusat hiburan dengan pegawai dan tamu-tamu berpakaian perlente di hotel-hotel berbintang. Jangan tanya hotelnya bintang berapa, banyak deh bintangnya, karena saking megahnya. Dan, jangan tanya juga harga per malamnya berapa buat bisa tidur di sini, pasti mahal buat ukuran backpacker. Buat bisa masuk ke hotel-hotel itu, kita gak mesti harus nginep di sana kok, kalo mau lihat-lihat doang bisa kok. Meskipun kita gak nginep, tapi kita tetep bisa manfaatin fasilitas toilet, keran minum, wifi, dan tempat penitipan barang bawaan kita. Jadi, sebelum jalan dan menjelajah, kita bisa titipin barang bawaan yang udah kita bawa dari bandara (sebelum masuk ke jam check-in penginapan, itu kalo kalian nginep di sini).





Kayak yang tadi udah saya bilang di atas, nama-nama tempat di Macau, banyak yang pake nama-nama ala Eropa. Ada Parisian yang punya desain ala Prancis, Venetian yang punya desain ala Italia, Macau Fisherman’s Wharf, Ruin St. Paul, dan masih banyak yang lain. Unik dan untungnya, beberapa tempat yang saya sebut di atas saling terintegrasi dan terhubung satu sama lain. Jadi gak perlu capek keliling jauh-jauh, karena semuanya deket. Ini beberapa gambar yang saya ambil.




Keuntungan lainnya kita keliling Macau selain lokasi antardestinasinya yang deket-deket – kalo mau nekat dan coba beda, bisa banget jalan kaki – itu karena kita para wisatawan difasilitasin sama bus-bus kota yang GRATIS. Gratis? Iya! Bus gratis itu udah disiapin sama pengelola hotel dan casino yang ada di Macau buat manjain para wisatawan. Saking dimanjainnya, kita udah dijemput dari bandara lho. Bus-bus berlabel dan bertanda hotel-hotel yang ada di Macau. Jadi, misalnya kalo kita mau jelajah sekitar Parisian, kita tinggal naik bus yang ada tanda Parisiannya, dan seterusnya kayak gitu. Gak perlu bingung “nanti turun di mana ya? Patokannya apa?”. Kalo bingung bentuk busnya kayak apa, bisa bayangin mulai dari mini bus (Transjakarta, Transjogja, dan sebagainya yang punya ukuran mini), tapi ada juga yang ukurannya kayak bus antarkota. Jangan takut kepanasan, karena bus-busnya udah dilengkapin sama pendingin. Dan, gak perlu takut kehilangan sinyal juga selama di sana, kalo kalian emang gak mau beli kartu provider dari Macau, karena busnya dilengkapin sama wifi yang kenceng. Keliling kota Macau pake bus terus mau sambil update sosmed? Bisa banget.


Saya nyebut Macau kayak kota mainan, karena tata kotanya rapih dan bangunan-bangunan pencakar langitnya unik. Jadi, gak cuma bangunan tinggi yang bentuknya balok menjulang tinggi ke atas. Mereka mendesain bangunan dengan bentuk yang gak biasa. Itu salah satu alasan kenapa Macau saya sebut kayak kota mainan. Ya, karena yang namanya mainan kan punya bentuk yang beragam, gak gitu-gitu aja. Terus, kebersihan kotanya itu lho, yang mesti diacungin jempol. Susah nemuin sampah di kanan-kiri jalan sepanjang perjalanan. Taman-taman dan pepohonan yang ditanam di tepian jalan, bikin sedikit-banyak bikin sejuk mata di hawa panas yang mencolok. Lagi, yang bikin Macau makin unik dan menarik lagi buat dijelajah, meskipun cuma sehari, itu karena Macau punya replika ikon-ikon dunia. Sebut aja, Menara Eiffel, Colosseum Roma, Venice Italia, bisa kita temuin di sini. Tingkat kemiripannya gimana? Mirip, cuma ukurannya yang lebih kecil.





Keadaan kotanya secanggih dan sekeren itu, pasti susah cari makan dengan harga murah khas para backpacker kan? Enggak sama sekali. Tapi, mesti kan makanannya chinese food. Enggak juga. Kalo gak mau ribet, kita bisa makan di gerai makanan cepat saji yang banyak kita temuin di Indonesia, kayak KF*, Mc*, Yosh*noya bisa kita jadiin pilihan buat tempat makan. Rasanya sama, cuma buat yang suka pedes, mesti agak sabar, karena tingkat pedes dan definisi pedes antara kita sama mereka itu beda. Ya, tapi buat sementara kita mesti nurunin ego kita buat makan pedes, gak lama juga kok, cuma sementara kan. Perut udah kenyang, ya udah jalan dan keliling lagi aja.




Keliling Macau itu gak cuma asik pas siang aja. Malem pun sama, malah kalo bisa saya bilang, Macau itu baru nunjukin jati dirinya pas malem hari. Lampu-lampu LED gedung warna-warni, kelap-kelip, yang kadang dari LED itu nyiptain gambar dan tulisan tertentu. Suasana malam yang hidup dan gak sepi. Orang-orang, baik wisatawan atau warga sekitar terus memadati jalan-jalan dan pedestrian. Susana kota yang cantik gitu, pas buat dijadiin latar foto. Tapi, kan gelap kalo mau foto. Hahaha.. lampu-lampu sekitar jalan atau sekitar Gedung yang cantik-cantik itu mendukung kok buat pencahayaan. Kayaknya mereka sengaja nyiptain itu buat makin memanjakan kita yang lagi main di kota mainan ini.



Seharian menjelajah Macau saya rasa cukup, karena kotanya gak terlalu besar, lokasi antardestinasinya deket-deket, semua terintegrasi sama transportasi umum yang udah disediain secara cuma-cuma, pas deh pokoknya. Macau terus memanjakan mata saya dengan ketidakmonotonan sebuah kota besar yang bentuk dan isinya gitu-gitu aja. Mereka sukses memanjakan saya dengan “tontonan” yang membuat mata terbuka. Sayang rasanya kalo hal ini gak saya bagikan, dan saya mau kalian juga bisa ngerasaiinnya. Kota mainan di dunia nyata ini, bakal memanjakan kita semua, saat kita berkenalan dan mengenalnya lebih jauh. Terima kasih, Macau atas pengalamannya.

Instagram: andrimam

Jumat, 21 Desember 2018

Sangeh Monkey Forest, Rumah "Mereka" Tempat Kita Berteduh



Hutan, tempat yang penting banget buat kita. Tanpanya, kita kayaknya bakal terbatas dapet udara bersih, segar, dan bebas. Tanpanya, kita mungkin gak kenal yang namanya warna hijau dan warna turunannya yang berasal dari warna pepohonan. Tanpanya juga, mungkin kita gak kenal berbagai fauna yang berasal dan hidup di hutan. Berbagai aspek kehidupan bergantung sama hutan. Hutan masih nyimpan berbagai rahasia alam yang sampe sejauh ini belum semua kita temukan. Gak salah, kalo hutan dapet julukan sebagai paru-paru dan sumber kehidupan.

Jadi orang Indonesia, mestinya bersyukur karena kita tinggal di negeri yang kalo kita lihat dari atas, mayoritas warnanya hijau. Itu tandanya, Indonesia dihampari oleh hutan. Negeri khatulistiwa yang kaya sama pepohonan yang terbentang dari ujung-ke-ujung kepulauan. Tapi, sayangnya, karena tuntutan dan keadaan, hutan di negeri ini kian hari kian berkurang. Miris rasanya lihat pemberitaan yang nyiarin kondisi pembalakan hutan yang terus-terusan. Pertanyaannya, “mau sampe kapan?” Entah. Bahkan sampe para elit pembuat kebijakan pun dibuat kualahan ngatasin hal yang demikian. Besar harapan kita, masalah ini bisa terselesaikan.

Di luar masalah tersebut, masih ada wilayah-wilayah di Indonesia yang peduli sama hutan. Banyak yang masih peduli. Mereka melindungi hutan sama berbagai peraturan. Bahkan, ada juga yang melindungi hutan dengan ketentuan adat dan kepercayaan. Bali salah satunya. Gak heran, menurut saya masyarakat Bali selalu melibatkan dan berusaha hidup harmonis sama alam. Hutan bagian dari alam. Dan, masyarakat Bali menghormati hutan sebagaimana mestinya. Bukan cuma hutannya, tapi juga apa yang ada di dalam dan jadi bagian dari hutan. Sangeh Monkey Forest, salah satu wujud nyata keharmonisan antara manusia dan alam di Bali. Tulisan ini, bakal membahas hutan yang baru aja saya kunjungi di tanggal 7 Desember 2018 ini.



Kalo kalian pernah ke Bali, mungkin ada yang pernah ke sini, atau pernah denger nama hutan ini. Bukan, ini bukan hutan monyet yang ada di Ubud. Hutan ini ada di daerah kabupaten Badung. Saya gak mau bandingin dua lokasi tersebut, pertama karena saya belom pernah ke hutan monyet yang ada di Ubud; dan yang kedua, kayaknya kurang bijak kalo harus bandingin dua lokasi yang sama-sama punya daya tariknya masing-masing. Itu menurut saya. Lokasi hutan ini ada di tengah-tengah pemukiman manusia. Sekeliling hutan ini dibatasi sama jalan raya. Jalan yang ramai sama hilir-mudik kendaraan. Karena lokasinya yang ada di sekitar pemukiman warga dan jalan raya, satu hal yang pasti, akses ke lokasi ini mudah. Kalo ditanya berapa waktu yang diabisin buat bisa sampe sana? Kalo ditanya gitu, saya juga bingung jawabnya, karena kalo diukur dari lokasi penginapan masing-masing, ya pasti bakal beda-beda. Buat hal itu, kayaknya bisa dicari sendiri pake aplikasi Google Maps. Tapi, kalo dari penginapan saya, jaraknya cuma 35 menit berkendara dengan kecepatan 40-60 km per jam. Intinya, manfaatin Google Maps.

Sepanjang perjalanan ke hutan ini, terutama pas udah deket lokasi, kita bakal disuguhin sama pemandangan sawah-sawah yang ada di kanan-kiri jalan. Makin deket ke tujuan, kita bakal ketemu sama beberapa penjual makanan tradisional Bali di pinggir jalan. Mulai dari cemilan sampe makanan berat juga mereka jual. Dari lokasi penjual makanan itu, kita sebenernya udah bisa lihat hutannya. Gimana enggak, pepohonan tinggi yang rimbun, dengan beberapa pohon yang punya akar gantung, sukses bikin pandangan kita langsung teralih ke sana. Yang tadinya, sepanjang perjalanan, kita dikasih pemandangan persawahan, terus beralih ke pepohonan besar. Dari kejauhan, hutannya kelihatan tenang. Pepohonan yang batangnya tinggi menjulang, sesekali tertiup angin bagian ujung atau pucuknya. Suara-suara ranting dan daun yang saling bergesekan satu sama lain terdengar, saat angin makin kencang meniupnya. Dari titik itu, saya masih belum bisa lihat “penghuni sejati” hutan itu.


Gak beberapa lama, saya sampe di pintu masuk hutan ini. Pintu masuknya berbentuk gapura khas Bali. Di sebelah kiri dari pintu masuk, banyak penjual makanan, yang bentuknya kayak kantin di tempat wisata. Jadi, kalian yang mau ke sini, gak perlu takut kelaparan atau kehausan. Perut udah keisi dan haus udah diatasi, sekarang saatnya masuk ke dalam. Buat bisa masuk ke objek wisata ini, kita cukup bayar Rp10.000 aja per orang, dan kita bakal dikasih brosur yang isinya penjelasan singkat soal hutan ini. Cuma segitu yang harus kita siapin dan bayar, karena kita gak perlu nyiapin uang lagi buat bayar parkir kendaraan. Murah kan? tiket udah dipegang. Ayo! Kita masuk ke dalam.


Beberapa langkah dari loket penjualan tiket, kita bakal disambut sama patung kera berukuran besar. Patung kera yang kelihatannya garang. Patung besar itu dikelilingi sama patung-patung kera lainnya, tapi dengan ukuran yang lebih kecil. Mulai dari lokasi “patung selamat datang” itu, suasananya berubah. Pepohonan besar yang saya lihat tadi dari pinggir jalan, sekarang ada di hadapan saya. Kayaknya yang bikin suasana berubah itu karena rimbunnya pepohonan. Cuma hawa sejuk dan tenang yang saya rasain. Penghuni sejati lokasi ini mulai kelihatan dari kejauhan. Mereka adalah para kera. Kera yang terlihat mondar mandir nyari makanan. Kera-kera di sana gak liar. Mereka akrab sama para wisatawan. Mereka gak ngerampas bawaan para wisatawan. Rasa aman dan nyaman makin gede karena kita juga didampingi sama orang-orang yang udah paham gimana cara “handle” para kera ini. Mereka terbagi dua, yaitu orang-orang yang berseragam hijau (guide) dan para tokoh setempat yang berpakaian tradisional Bali.

peraturan di hutan ini, supaya tetep aman selama menjelajah kayaknya cuma satu. Kita gak boleh ganggu para kera. Kita boleh kasih makan, tapi kita boleh nyentuh mereka, itu pesan dari para pemandu wisatanya. Terus kalo mau foto sama para kera gimana? Apa bisa? Bisa kok, bisa banget malah. Kita tinggal samperin pemandu wisatanya, terus bilang ke mereka, kalo kita mau foto sama kera-kera itu. Pemandu bakal mancing kera pake makanan ringan yang udah disiapin. Kita tinggal diem aja, atur posisi, dan gak lama si kera bakal dateng nyamperin kita. Mau gaya kayak gimana? Keranya naik ke pundak, biar kayak gaya si Buta dari goa hantu? Bisa.. kuncinya satu, ikutin peraturan yang tadi, jangan sampe si kera yang nempel di kita jadi ngerasa keganggu. Nah, udah kan? Tinggal jepret, jadi deh fotonya.


Di hutan ini kita gak cuma bisa nikmatin aktivitas para kera ini doang kok. Di hutan ini juga ada beberapa pura. Dari pintu masuk utama tadi – tepatnya dari patung kera besar – kita bisa lihat pura yang berdiri tegak. Pura yang dipagari sama pagar batu ini gak bisa dimasukin sama wisatawan, karena pura itu masih dipake buat peribadatan. Kita cuma bisa nikmatin keindahannya dari luar aja, sambil ngelihat para kera yang berkeliaran, naik-turun, dan manjat pura itu. Itu udah lebih cukup buat kami. Pura yang kita lihat di hutan ini kayaknya bisa kita jadiin referensi lain buat latar foto kita, karena selama ini yang kita tahu kalo pura-pura Bali adanya di pinggir laut atau pantai. Ini di hutan. Bisa kebayang gimana tenang dan sejuknya warga-warga Hindu Bali yang beribadah di sini. Kayak yang tadi udah saya bilang sebelumnya, di hutan ini ada beberapa pura.

Gak jauh dari pura utama, kita bakal dituntun sama jalan setapak yang lembab dan basah karena tetesan air dari pepohonan, menuju ke pura yang lebih kecil. Desain dan bentuknya sama, cuma ukurannya aja yang beda. Di sana ada pendopo atau gazebo yang dijaga sama para tokoh sekitar. Mungkin, mereka ngejaga para wisatawan biar tetep aman. Di depan pura kecil ini, ada satu jalan luas dan cukup panjang. Jalan yang tertutup sama lumut-lumutan. Jalan ini bisa dijadiin buat spot foto juga. Karena kalo lagi beruntung, di jalan itu bakal melintas kawanan atau sekelompok kera. Mulai dari pemimpin kelompok sampe ke bayi kera yang masih di gendongan induknya, bisa kita lihat, dan bisa jadi pelengkap objek foto kita. Keren kan?


Udah ke dua pura itu, apa udahan jelajahnya? Belum.. kita masih bisa tetep ikutin jalan setapak yang bakal giring kita ke beberapa tempat lainnya. Kita kudu buang jauh-jauh pandangan “bakal tersesat” di hutan. Karena selain banyak pemandu dan para tokoh warga, kita bakal dituntun sama jalan setapak itu. Nah, kalo kita ikutin lagi jalan itu, kita bakal sampe ke salah satu pohon yang bisa dibilang unik. Mereka menamai pohon itu pohon Lanang Wadon. Kok gitu ya? Apa pohon ini sepasang, jadi dinamain begitu? Bukan gitu kok. Pohon ini dikasih nama itu karena … ah, lihat sendiri aja deh dari gambar di bawah ini. Kalo mau jelasnya lagi, dateng aja ke sini, terus lihat langsung. Pohon ini kayaknya jadi penutup momen jelajah di hutan ini. Tapi, kalo masih kurang puas, bisa masuk lagi lewat pintu masuk utama tadi.


Terbukti kan, kalo Sangeh Monkey Forest itu bisa jadi bukti kalo kita ngehormatin dan ngejaga alam, alam juga bakal ngasih balasan yang setimpal. Kedamaian, kesejukan, dan keteduhan jadi balasan dari alam. Rimbunnya pepohonan dan terjaganya ekosistem kera di dalamnya bukan cuma bawa ketiga hal yang udah saya sebutin barusan. Keuntungan lainnya, alam (Sangeh Monkey Forest) juga bawa keteduhan secara finansial buat daerah dan warga sekitar. Pesan saya cuma satu, buat tetep jaga alam supaya kita bisa nikmatin keteduhan yang kita rasain sekarang, terus berkelanjutan, dan terus berkelanjutan. Jangan sampe Sangeh Monkey Forest – dan alam-alam yang lain – hilang, dan cuma jadi kenangan.


Instagram: andrimam