Jumat, 14 Desember 2018

Membangunkan Anak Krakatau yang Sedang Tidur



Indonesia, negeri gemah ripah loh jinawi ini, punya istilah lain yang disematkan oleh dunia luar, yaitu ring of fire. Singkatnya, Indonesia yang berada di dua lempeng besar (Eurasia dan Australia) ini – khususnya wilayah Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara –, diselimuti berbagai fenomena vulkanis dan tektonis. Gempa bumi dan aktivitas gunung berapi, jadi beberapa contohnya. Kedua fenomena itu, terus terjadi hingga saat ini, di negeri ini. Fenomena gunung berapi, dipandang sebagai sebuah fenomena alam yang mengerikan. Gak salah kok, fenomena yang bisa juga disebut bencana alam ini, gak sedikit membawa dampak kurang baik selama prosesnya. Gak sedikit juga kerugian yang ditimbulin. Ya, mau gimana, udah kehendak dan hukum alam. Itu sisi kurang baiknya.

Pepatah klasik bilang, bagai dua sisi mata uang, ada baik dan ada kurang baiknya. Maksudnya? Apa hubungannya? Selama ini, fenomena vulkanis dipandang sebagai hal yang mengerikan. Bener. Banyak yang menghindar dari fenomena ini. Tapi, gimana kalo kita terapin pepatah di atas, dari sisi yang berlawanan (?) Kita lihat “sisi baik” fenomena ini. Hah? Mencari fenomena vulkanis.

Kita pasti tau, beberapa gunung berapi aktif yang ada di Indonesia. Ada gunung Merapi, gunung Bromo, gunung Agung, gunung Sumbing, gunung Anak Krakatau, dan masih ada yang lain. Bicara soal gunung Anak Krakatau, wow, ngeri ya. Gunung ini kayaknya jadi gunung yang gak pernah tidur. Selalu bikin orang waspada dengan keaktifannya. Ibaratnya, gunung ini kayak anak-anak yang lagi aktifnya bermain, dan kita adalah orang tua yang selalu waspada ngawasin anak-anak yang lagi bermain itu.

Gunung yang terletak di provinsi Lampung ini, tepat berada di sebuah pulau kecil di perairan selat Sunda. Sebuah pulau yang digadang-gadang sebagai pulau termuda di Indonesia. Pulau Anak Krakatau, bukan sebuah pulau hunian. Pulau berpasir hitam dengan vegetasi pepohonan hijau di salah satu sisi pulaunya. Ya, cuma di salah satu sisi pulaunya aja, gak mengelilingi seluruh pulau. Pulau yang tampak kontras dari pulau-pulau di sekitarnya, yang berpasir putih, air laut hijau-biru bergradasi yang mengitari pulau, biota laut yang berenang ke sana-kemari dari satu karang ke karang lain, dan dengan vegetasi hijau yang beragam. Pulau Anak Krakatau, kau bagai orang asing di wilayahmu sendiri. Kau bagai awan hitam mendung di tengah kumpulan awan putih di langit yang biru.

Pagi itu, menuju pertengahan bulan Agustus 2018, saya dan kerabat saya, Dimas Ramadhan ikut dalam sebuah jasa travel yang nawarin perjalanan ke gunung Anak Krakatau. Ikut dalam sebuah perjalanan yang saya pikir di awal kayak menantang alam. Perjalanan yang normalnya nyari ketenangan dan kebahagiaan, ini justru sebaliknya. Yang kami cari adalah ketegangannya. Tapi, ya udah, kami coba.

Sehari sebelum ke tujuan utama, kami tiba di salah satu pulau terdekat dengan pulau Anak Krakatau. Pulau Sebesi. Pulau yang cukup luas dan berpenghuni. Ada beberapa homestay tepi pantai di pulau ini, yang bisa kita sewa kalo ke sini. Pulau dengan hamparan pasir putih. Pulau dengan air laut biru muda bergradasi, yang menandakan bahwa perairan di sekitar pulau gak dalam. pulau dengan ombak landai yang terus menyapu pasir di pantai, cocok untuk santai dan bermain air di tepi pantai. Ya, ini cocok buat bersantai.


Gak jauh dari pulau itu, beberapa kilometer di sebelah timur pulau, ada satu pulau kecil, pulau Umang-umang namanya. Pulau dengan karakter serupa dengan pulau Sebesi. Yang bikin beda, satu, dari segi ukuran yang lebih kecil; dua, pulau ini gak berpenghuni. Pulau kecil yang bisa kita kelilingi dengan berjalan kaki gak sampe setengah jam, buat sekali kelilingnya ini, adalah spot terbaik buat nikmatin sunset. Pulau yang punya bebatuan karang yang timbul dari dasar lautan ini, sekilas kayak  lagi di pulau Belitung, tapi ini versi kecilnya. kayak yang tadi saya bilang, dari pulau ini kita bisa nikmatin momen matahari terbenam. Tinggal naik ke titik tertinggi pulau ini, dan menghadap ke barat di waktu yang tepat, kita bisa nikmatin momen sang surya yang kembali ke peraduannya. What a sunset. Di sebelah selatan pulau ini, ada ayunan yang dipasang gak jauh dari bibir pantai. Kalo pas momen air laut surut, kita bisa foto-foto di ayunan itu. kapan lagi, main ayunan di tengah laut (?)


Siang berganti sore, dan sore berganti malam. Capek seharian main di pantai dan lautan, kami lalu istirahat. Istirahat sambil menyiapkan perlengkapan buat menuju tujuan utama kami, ya apalagi kalo bukan gunung Anak Krakatau. Kalo ngikutin jadwal, kami bakal menuju ke sana kira-kira jam 5 pagi, mungkin biar dapet momen langit pagi yang bagus kayaknya, langit yang masih biru tanpa awan. Baju buat ngelindungi diri dari angin laut kami siapkan, dan beberapa orang dalam open trip ini juga nyiapin perlengkapan mereka masing-masing. Kami sibuk mempersiapkan diri. Aman, semuanya aman. Sampe kira-kira jam sembilan malam, kami dapat berita dari PVMBG (Pusat Vulkanologis dan Mitigasi Bencana Geologi) yang ngawasin gunung Anak Krakatau, kami dapat info yang kurang mengenakkan.

Sebenernya, udah dibilang dari awal, dan udah masuk ketentuan di trip ini, yang intinya sewaktu-waktu kondisi gunung gak memungkinkan buat didaki, ya kita mesti terima. Ya, apalagi kalo bukan buat tujuan keamanan. Kalo dibilang kecewa, ya kami kecewa. Karena tujuan utama kami ke sini, buat ngeliat gunung, tapi ternyata harus gagal. Ya, udah kami terima, demi keamanan. Mungkin, situasi ini udah sering dihadapin sama jasa travel ini kayaknya. Mereka langsung ngalihin jadwal, malam itu juga. Mereka ngajak kami buat ngeliat erupsi dan keaktifan gunung Anak Krakatau dari kejauhan, dari sisi lain pulau Sebesi ini, malam itu juga.

Jam sepuluh malam, kami bergegas ke sisi lain pulau ini, pake mobil pick-up. Jalan yang masih beralas pasir dan belum beraspal kami lewati. Ngebul sana-sini, pasir laut yang beradu sama ban mobil, lalu tertiup angin dan nyiptain debu yang berterbangan. Gak apa-apa, demi ngeliat momen langka ini, kami rela. Gak sampe sejam berkendara, kami sampe di satu titik di ujung pulau ini. Titik yang berhadapan dengan gunung yang gak keliatan bentuknya. Yang kami liat cuma gelap. Sumber penerangan kami cuma dari lampu senter ponsel kami. Orang travel ngarahin kami buat fokus ke satu titik, ke titik yang ditunjuk sama mereka. Mereka menunjuk ke satu cahaya merah kedap-kedip di garis cakrawala. Itu gunung Anak Krakatau yang lagi nunjukkin keeksistensiannya. Dibanding sekitarnya, gak ada cahaya serupa di kanan-kiri dan sekitarnya. Ya, cuma di titik itu. Setelah lihat kondisi itu, kami ikhlas buat gak menuju ke sana besok pagi. Kebayang gimana kan kalo nekat ke sana?

Setelah kami lihat langsung kondisi gunung yang kayak gitu, kami terima buat gak mendekat ke sana. Gantinya, ya, paling ngelakuin hal yang sama kayak kegiatan siang di hari pertama. Main di pantai dan ke pulau-pulau. Gak apa-apa lah, terima kehendak alam. Hari makin malam, dan angin laut juga makin kenceng. Kami kembali ke penginapan, dan kami istirahat. Gak bisa ke pulau Anak Krakatau langsung, ya paling enggak, bisa datang lewat mimpi. Kami terlelap dalam tidur kami.

Pagi tiba, sekitar jam setengah enam kurang, kami dibangunin oleh orang travel. Kok sepagi ini, kayaknya kesepakatan semalem, kami mulai kegiatan jam sembilan. Ada apa? Orang travel-nya dapet info dari PVMG kalo dari lewat tengah malam, sampe info ini disampein ke kami, kondisi gunung ternyata stabil. Status gunung dituruin, dan radius mendekat ke gunung dipersempit. Nyawa kami yang masih belum full, pas denger kabar gitu, langsung full. Ibaratnya kayak ngisi baterai smartphone pake teknologi quick charging. Kami semangat. Kami diminta siap-siap buat ke sana. Oke, berangkat kita, bos!

Perahu kayu bermotor udah disiapin, kami rombongan yang isinya beberapa belas orang, muat dalam satu perahu. Kami berangkat saat itu juga, tanpa mandi, tanpa sarapan. Udah lupa sama hal itu, yang penting momen. Perahu kami terus berjalan, berjalan terus membelah lautan dengar suara khas perahu motor yang agak bising. Kami tetap nikmatin perjalanan dengan perut lapar. Perahu jalan terus, sampe ada salah satu di antara kami yang nyeletuk, “itu kan ya gunungnya?”. Saat itu juga, arah kami kompak ke satu tujuan. Itu dia, sumber titik cahaya merah di cakrawala yang kami lihat semalam. Ternyata kau tenang dan gak “banyak bertingkah” ya, Nak. Gak ada aktivitas vulkanis yang kami lihat, sejak dari pertama kami lihat gunung itu, sampe perahu kami benar-benar bersandar di bibir pantai. Wow! Kami bisa sampe sini ternyata. Kami yang semalam sempet kecewa, sekarang malah sebaliknya.


Kayak yang udah saya bilang di atas, pulau ini pasirnya hitam. Kalo mau tau hitamnya kayak apa, coba perhatiin pasir yang dipake jadi bahan bangunan pas kena air. Ya, kayak gitu warnanya, gak beda. Bedanya cuma dari tekstur yang agak halus kayak pasir laut. Kau eksotis sekali, pulau. Kau berani tampil beda dari pulau-pulau lain di sekitarmu. Pohon-pohon yang ada di pulau ini, tertutup abu vulkanis sisa letupan si punya pulau. Bayangin kota mati yang berdebu karena ditinggal penghuninya. Ya, kayak gitu keadaannya, cuma di sini gak ada rumah, yang ada cuma satu gubuk buat mantau sekitar gunung dan pulau. Selebihnya? Cuma pasir hitam, dan vegetasi yang tertutup dedebuan.


Kami senang, berusaha tetap tenang meskipun agak tegang. Gimana gak tegang, selama kami di sana, selain ditemani orang travel-nya, kami juga ditemani sama petugas keamanan atau petugas pemantau gunung. Ditambah lagi, kami diperingatin buat selalu waspada kalo sewaktu-waktu gunung mulai “aktif bermain”. Baiklah, kami siap. Oh, iya, aktivitas kami di pulau ini juga dibatasi. Awalnya, (menurut itinerary) kami bisa lebih dekat dengan gunung, ketimbang ketentuan yang sekarang. Kami cuma bisa melihat gunung dari kejauhan. Menit-menit awal kami berjalan, gak ada yang mencemaskan. Semua berjalan normal. Ranting-ranting pohon yang mati karena terkena debu panas, terus mengenai kami dari berbagai sisi. Pakaian kami berdebu, alas kaki kami semua warnanya sama, abu-abu. Kami terus berjalan, dan.. tiba-tiba suara gemuruh mulai kedengaran, dan tanah bergetaran. Suaranya kayak suara petir yang bersaut-sautan saat hujan. Getarannya kayak saat kita lagi berkendara di jalan yang berantakan. Lemes, panik, cemas. Langkah kami terhenti. Petugas bilang: “gak apa-apa, ini biasa, setiap beberapa menit emang begitu”. Mereka bisa bilang gitu, dan tetep tenang, ya karena itu biasa buat mereka. Nah, buat kami yang baru pertama kali? Pikir aja gimana.

Sekali denger dan nyaksiin itu, kami panik, kedua kalinya, masih panik, dan sampe akhirnya kami mulai terbiasa sama fenomena itu. Selama perjalanan, kami cuma bisa denger dan rasain fenomena itu, belom sempet liat apa yang terjadi di gunungnya. Kami gak bisa liat gunungnya, karena tertutup sama pepohonan. Kami terus jalan, dan gak beberapa lama, kami sampe di satu area yang bebas pepohonan. Kami bisa lihat gunung sampe ke puncaknya dari titik itu. Kami terdiam karena lihat gunung Anak Krakatau persis ada di depan kami. Jangan tanya berapa jaraknya, saya juga gak tau. Yang jelas, ini jelas banget. Garis-garis gunung kelihatan jelas banget. Kami sibuk dokumentasiin ini. Iya, dong, udah sampe lokasi masa gak foto-foto. Sayang lah.


BOOM!!! Kami dapat sambutan dari si punya pulau. Gak ada tanda apa-apa, tiba-tiba keluar letupan atau erupsi dari puncak gunung. Semburan awan hitam bercampur abu dibarengi sama getaran tanah dan suara gemuruh, berhasil bikin kami ketakutan. Kami kocar-kacir berlarian. Berusaha menjauh, dan kembali ke jalur penurunan. Kami gak sampe kepikiran, itu apa. Beberapa orang masih sempet abadiin kejadin itu dari kamera ponsel mereka. Suara gemuruh dan getaran daratan, masih saya ingat dan rasakan kayak apa, sampe sekarang. Kami diberi sambutan “ucapan selamat datang” dari tuan rumah. Gunung Anak Krakatau yang semalam sempat tertidur karena “kelelahan”, pagi itu bangun, dan mulai “bermain” lagi dengan kami, para wisatawan yang bertandang. Petugas dan orang travel memeringatkan kami buat kembali dan turun ke tempat awal pendakian. Ya, kami ikuti. Sepanjang perjalanan balik ke tempat awal, gunung terus “bermain” dengan getaran dan semburan debu yang dikeluarkan. Kami panik. Tapi, untungnya, angin gak mengarah ke kami, angin mengarah ke arah yang berlawanan. Alam masih berpihak ke kami.

Setelah sampai di bawah, kami putuskan buat kembali naik perahu dan beranjak dari pulau. Meskipun, sebelumnya kami masih sempat sarapan, sebelum naik perahu dan berlayar. Saat perahu kami mulai meninggalkan pulau, aktivitas “anak” ini tetap kelihatan. Terus berkomunikasi dan menunjukkan keeksistensiannya ke kami dengan caranya itu. “Anak” ini sangat aktif. Semakin menjauh kami dari pulau itu, kami diberi salam perpisahan. Salam perpisahan khas gunung Anak Krakatau. Apalagi kalo bukan lewat letupan dan suara gemuruh yang dihasilkan. Dia seolah berkata: “selamat jalan dan sampai jumpa lagi di lain kesempatan”. Rasa cemas dan takut yang sebelumnya kami rasain, mulai berganti sama rasa iba dan kasihan, kalo kami harus meninggalkan “anak” ini sendirian di tengah lalutan. Sebenarnya, kami mau berlama-lama main dengannya, tapi keaktifannya sukses bikin kami ketakutan. Sampai jumpa, Nak di lain kesempatan!


Alam, khususnya gunung Anak Krakatau, punya caranya sendiri buat nunjukin keberadaan dan keeksistensian. Cara mereka kadang gak bisa ditebak apa bentuknya dan diperkirakan kapan waktunya. Sesuka mereka. Gunung Anak Krakatau ini buktinya. Kami telah mengusik tidurmu pagi itu, dengan kedatangan kami yang tanpa undangan. Kau terbangun. Kau tidak diam, tapi kau beri kami sambutan. Sambutan selamat datang yang sebelumnya gak bisa kami perkirakan. Kau juga beri kami salam perpisahan. Kami akan selalu ingat sambutanmu, Nak.


Instagram: andrimam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar