Indonesia, negeri gemah ripah loh jinawi
ini, punya istilah lain yang disematkan oleh dunia luar, yaitu ring of fire.
Singkatnya, Indonesia yang berada di dua lempeng besar (Eurasia dan Australia)
ini – khususnya wilayah Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara –, diselimuti
berbagai fenomena vulkanis dan tektonis. Gempa bumi dan aktivitas gunung
berapi, jadi beberapa contohnya. Kedua fenomena itu, terus terjadi hingga saat
ini, di negeri ini. Fenomena gunung berapi, dipandang sebagai sebuah fenomena
alam yang mengerikan. Gak salah kok, fenomena yang bisa juga disebut bencana
alam ini, gak sedikit membawa dampak kurang baik selama prosesnya. Gak sedikit
juga kerugian yang ditimbulin. Ya, mau gimana, udah kehendak dan hukum alam.
Itu sisi kurang baiknya.
Pepatah klasik bilang, bagai dua sisi mata uang,
ada baik dan ada kurang baiknya. Maksudnya? Apa hubungannya? Selama ini,
fenomena vulkanis dipandang sebagai hal yang mengerikan. Bener. Banyak yang
menghindar dari fenomena ini. Tapi, gimana kalo kita terapin pepatah di atas,
dari sisi yang berlawanan (?) Kita lihat “sisi baik” fenomena ini. Hah?
Mencari fenomena vulkanis.
Kita pasti tau, beberapa gunung berapi aktif yang
ada di Indonesia. Ada gunung Merapi, gunung Bromo, gunung Agung, gunung
Sumbing, gunung Anak Krakatau, dan masih ada yang lain. Bicara soal gunung Anak
Krakatau, wow, ngeri ya. Gunung ini kayaknya jadi gunung yang gak pernah
tidur. Selalu bikin orang waspada dengan keaktifannya. Ibaratnya, gunung ini
kayak anak-anak yang lagi aktifnya bermain, dan kita adalah orang tua yang
selalu waspada ngawasin anak-anak yang lagi bermain itu.
Gunung yang terletak di provinsi Lampung ini,
tepat berada di sebuah pulau kecil di perairan selat Sunda. Sebuah pulau yang
digadang-gadang sebagai pulau termuda di Indonesia. Pulau Anak Krakatau, bukan
sebuah pulau hunian. Pulau berpasir hitam dengan vegetasi pepohonan hijau di
salah satu sisi pulaunya. Ya, cuma di salah satu sisi pulaunya aja, gak mengelilingi seluruh
pulau. Pulau yang tampak kontras dari pulau-pulau di sekitarnya, yang berpasir
putih, air laut hijau-biru bergradasi yang mengitari pulau, biota laut yang
berenang ke sana-kemari dari satu karang ke karang lain, dan dengan vegetasi
hijau yang beragam. Pulau Anak Krakatau, kau bagai orang asing di wilayahmu
sendiri. Kau bagai awan hitam mendung di tengah kumpulan awan putih di langit
yang biru.
Pagi itu, menuju pertengahan bulan Agustus
2018, saya dan kerabat saya, Dimas Ramadhan ikut dalam sebuah jasa travel
yang nawarin perjalanan ke gunung Anak Krakatau. Ikut dalam sebuah perjalanan
yang saya pikir di awal kayak menantang alam. Perjalanan yang normalnya nyari
ketenangan dan kebahagiaan, ini justru sebaliknya. Yang kami cari adalah
ketegangannya. Tapi, ya udah, kami coba.
Sehari sebelum ke tujuan utama, kami tiba di
salah satu pulau terdekat dengan pulau Anak Krakatau. Pulau Sebesi. Pulau yang
cukup luas dan berpenghuni. Ada beberapa homestay tepi pantai di pulau
ini, yang bisa kita sewa kalo ke sini. Pulau dengan hamparan pasir putih.
Pulau dengan air laut biru muda bergradasi, yang menandakan bahwa perairan di
sekitar pulau gak dalam. pulau dengan ombak landai yang terus menyapu pasir di
pantai, cocok untuk santai dan bermain air di tepi pantai. Ya, ini cocok buat bersantai.
Gak jauh dari pulau itu, beberapa kilometer di
sebelah timur pulau, ada satu pulau kecil, pulau Umang-umang namanya. Pulau dengan
karakter serupa dengan pulau Sebesi. Yang bikin beda, satu, dari segi ukuran
yang lebih kecil; dua, pulau ini gak berpenghuni. Pulau kecil yang bisa kita
kelilingi dengan berjalan kaki gak sampe setengah jam, buat sekali kelilingnya
ini, adalah spot terbaik buat nikmatin sunset. Pulau yang punya bebatuan
karang yang timbul dari dasar lautan ini, sekilas kayak lagi di pulau Belitung, tapi ini versi kecilnya. kayak
yang tadi saya bilang, dari pulau ini kita bisa nikmatin momen matahari
terbenam. Tinggal naik ke titik tertinggi pulau ini, dan menghadap ke barat di
waktu yang tepat, kita bisa nikmatin momen sang surya yang kembali ke
peraduannya. What a sunset. Di sebelah selatan pulau ini, ada ayunan
yang dipasang gak jauh dari bibir pantai. Kalo pas momen air laut surut, kita bisa foto-foto di
ayunan itu. kapan lagi, main ayunan di tengah laut (?)
Siang berganti sore, dan sore berganti malam. Capek
seharian main di pantai dan lautan, kami lalu istirahat. Istirahat sambil
menyiapkan perlengkapan buat menuju tujuan utama kami, ya apalagi kalo bukan
gunung Anak Krakatau. Kalo ngikutin jadwal, kami bakal menuju ke sana kira-kira
jam 5 pagi, mungkin biar dapet momen langit pagi yang bagus kayaknya, langit
yang masih biru tanpa awan. Baju buat ngelindungi diri dari angin laut kami
siapkan, dan beberapa orang dalam open trip ini juga nyiapin
perlengkapan mereka masing-masing. Kami sibuk mempersiapkan diri. Aman,
semuanya aman. Sampe kira-kira jam sembilan malam, kami dapat berita dari PVMBG
(Pusat Vulkanologis dan Mitigasi Bencana Geologi) yang ngawasin gunung Anak
Krakatau, kami dapat info yang kurang mengenakkan.
Sebenernya, udah dibilang dari awal, dan udah
masuk ketentuan di trip ini, yang intinya sewaktu-waktu kondisi gunung
gak memungkinkan buat didaki, ya kita mesti terima. Ya, apalagi kalo bukan buat
tujuan keamanan. Kalo dibilang kecewa, ya kami kecewa. Karena tujuan utama kami
ke sini, buat ngeliat gunung, tapi ternyata harus gagal. Ya, udah kami terima,
demi keamanan. Mungkin, situasi ini udah sering dihadapin sama jasa travel
ini kayaknya. Mereka langsung ngalihin jadwal, malam itu juga. Mereka ngajak
kami buat ngeliat erupsi dan keaktifan gunung Anak Krakatau dari kejauhan, dari
sisi lain pulau Sebesi ini, malam itu juga.
Jam sepuluh malam, kami bergegas ke sisi lain
pulau ini, pake mobil pick-up. Jalan yang masih beralas pasir dan belum
beraspal kami lewati. Ngebul sana-sini, pasir laut yang beradu sama ban mobil, lalu tertiup angin dan
nyiptain debu yang berterbangan. Gak apa-apa, demi ngeliat momen langka ini,
kami rela. Gak sampe sejam berkendara, kami sampe di satu titik di ujung pulau
ini. Titik yang berhadapan dengan gunung yang gak keliatan bentuknya. Yang kami
liat cuma gelap. Sumber penerangan kami cuma dari lampu senter ponsel kami. Orang
travel ngarahin kami buat fokus ke satu titik, ke titik yang ditunjuk
sama mereka. Mereka menunjuk ke satu cahaya merah kedap-kedip di garis cakrawala.
Itu gunung Anak Krakatau yang lagi nunjukkin keeksistensiannya.
Dibanding sekitarnya, gak ada cahaya serupa di kanan-kiri dan sekitarnya. Ya,
cuma di titik itu. Setelah lihat kondisi itu, kami ikhlas buat gak menuju ke
sana besok pagi. Kebayang gimana kan kalo nekat ke sana?
Setelah kami lihat langsung kondisi gunung yang
kayak gitu, kami terima buat gak mendekat ke sana. Gantinya, ya, paling
ngelakuin hal yang sama kayak kegiatan siang di hari pertama. Main di pantai
dan ke pulau-pulau. Gak apa-apa lah, terima kehendak alam. Hari makin malam,
dan angin laut juga makin kenceng. Kami kembali ke penginapan, dan kami
istirahat. Gak bisa ke pulau Anak Krakatau langsung, ya paling enggak, bisa
datang lewat mimpi. Kami terlelap dalam tidur kami.
Pagi tiba, sekitar jam setengah enam kurang,
kami dibangunin oleh orang travel. Kok sepagi ini, kayaknya kesepakatan
semalem, kami mulai kegiatan jam sembilan. Ada apa? Orang travel-nya
dapet info dari PVMG kalo dari lewat tengah malam, sampe info ini disampein ke
kami, kondisi gunung ternyata stabil. Status gunung dituruin, dan radius
mendekat ke gunung dipersempit. Nyawa kami yang masih belum full, pas
denger kabar gitu, langsung full. Ibaratnya kayak ngisi baterai smartphone
pake teknologi quick charging. Kami semangat. Kami diminta siap-siap
buat ke sana. Oke, berangkat kita, bos!
Perahu kayu bermotor udah disiapin, kami
rombongan yang isinya beberapa belas orang, muat dalam satu perahu. Kami
berangkat saat itu juga, tanpa mandi, tanpa sarapan. Udah lupa sama hal itu,
yang penting momen. Perahu kami terus berjalan, berjalan terus membelah lautan
dengar suara khas perahu motor yang agak bising. Kami tetap nikmatin perjalanan
dengan perut lapar. Perahu jalan terus, sampe ada salah satu di antara kami
yang nyeletuk, “itu kan ya gunungnya?”. Saat itu juga, arah kami
kompak ke satu tujuan. Itu dia, sumber titik cahaya merah di cakrawala yang
kami lihat semalam. Ternyata kau tenang dan gak “banyak bertingkah” ya, Nak. Gak
ada aktivitas vulkanis yang kami lihat, sejak dari pertama kami lihat gunung
itu, sampe perahu kami benar-benar bersandar di bibir pantai. Wow! Kami
bisa sampe sini ternyata. Kami yang semalam sempet kecewa, sekarang malah
sebaliknya.
Kayak yang udah saya bilang di atas, pulau ini
pasirnya hitam. Kalo mau tau hitamnya kayak apa, coba perhatiin pasir yang
dipake jadi bahan bangunan pas kena air. Ya, kayak gitu warnanya, gak beda.
Bedanya cuma dari tekstur yang agak halus kayak pasir laut. Kau eksotis sekali,
pulau. Kau berani tampil beda dari pulau-pulau lain di sekitarmu. Pohon-pohon
yang ada di pulau ini, tertutup abu vulkanis sisa letupan si punya pulau. Bayangin
kota mati yang berdebu karena ditinggal penghuninya. Ya, kayak gitu keadaannya,
cuma di sini gak ada rumah, yang ada cuma satu gubuk buat mantau sekitar gunung
dan pulau. Selebihnya? Cuma pasir hitam, dan vegetasi yang tertutup dedebuan.
Kami senang, berusaha tetap tenang meskipun
agak tegang. Gimana gak tegang, selama kami di sana, selain ditemani orang travel-nya,
kami juga ditemani sama petugas keamanan atau petugas pemantau gunung. Ditambah
lagi, kami diperingatin buat selalu waspada kalo sewaktu-waktu gunung mulai
“aktif bermain”. Baiklah, kami siap. Oh, iya, aktivitas kami di pulau ini juga
dibatasi. Awalnya, (menurut itinerary) kami bisa lebih dekat dengan gunung,
ketimbang ketentuan yang sekarang. Kami cuma bisa melihat gunung dari kejauhan.
Menit-menit awal kami berjalan, gak ada yang mencemaskan. Semua berjalan normal.
Ranting-ranting pohon yang mati karena terkena debu panas, terus mengenai kami
dari berbagai sisi. Pakaian kami berdebu, alas kaki kami semua warnanya sama,
abu-abu. Kami terus berjalan, dan.. tiba-tiba suara gemuruh mulai kedengaran,
dan tanah bergetaran. Suaranya kayak suara petir yang bersaut-sautan saat hujan.
Getarannya kayak saat kita lagi berkendara di jalan yang berantakan. Lemes, panik, cemas.
Langkah kami terhenti. Petugas bilang: “gak apa-apa, ini biasa, setiap
beberapa menit emang begitu”. Mereka bisa bilang gitu, dan tetep tenang, ya
karena itu biasa buat mereka. Nah, buat kami yang baru pertama kali? Pikir aja
gimana.
Sekali denger dan nyaksiin itu, kami panik,
kedua kalinya, masih panik, dan sampe akhirnya kami mulai terbiasa sama fenomena
itu. Selama perjalanan, kami cuma bisa denger dan rasain fenomena itu, belom
sempet liat apa yang terjadi di gunungnya. Kami gak bisa liat gunungnya, karena
tertutup sama pepohonan. Kami terus jalan, dan gak beberapa lama, kami sampe di
satu area yang bebas pepohonan. Kami bisa lihat gunung sampe ke puncaknya dari
titik itu. Kami terdiam karena lihat gunung Anak Krakatau persis ada di depan kami.
Jangan tanya berapa jaraknya, saya juga gak tau. Yang jelas, ini jelas banget. Garis-garis
gunung kelihatan jelas banget. Kami sibuk dokumentasiin ini. Iya, dong, udah
sampe lokasi masa gak foto-foto. Sayang lah.
BOOM!!! Kami dapat sambutan dari si punya pulau. Gak ada
tanda apa-apa, tiba-tiba keluar letupan atau erupsi dari puncak gunung. Semburan
awan hitam bercampur abu dibarengi sama getaran tanah dan suara gemuruh, berhasil
bikin kami ketakutan. Kami kocar-kacir berlarian. Berusaha menjauh, dan kembali
ke jalur penurunan. Kami gak sampe kepikiran, itu apa. Beberapa orang masih sempet abadiin
kejadin itu dari kamera ponsel mereka. Suara gemuruh dan getaran daratan, masih
saya ingat dan rasakan kayak apa, sampe sekarang. Kami diberi sambutan “ucapan
selamat datang” dari tuan rumah. Gunung Anak Krakatau yang semalam sempat
tertidur karena “kelelahan”, pagi itu bangun, dan mulai “bermain” lagi dengan
kami, para wisatawan yang bertandang. Petugas dan orang travel
memeringatkan kami buat kembali dan turun ke tempat awal pendakian. Ya, kami ikuti.
Sepanjang perjalanan balik ke tempat awal, gunung terus “bermain” dengan
getaran dan semburan debu yang dikeluarkan. Kami panik. Tapi, untungnya, angin
gak mengarah ke kami, angin mengarah ke arah yang berlawanan. Alam masih
berpihak ke kami.
Setelah sampai di bawah, kami putuskan buat
kembali naik perahu dan beranjak dari pulau. Meskipun, sebelumnya kami masih
sempat sarapan, sebelum naik perahu dan berlayar. Saat perahu kami mulai
meninggalkan pulau, aktivitas “anak” ini tetap kelihatan. Terus berkomunikasi
dan menunjukkan keeksistensiannya ke kami dengan caranya itu. “Anak” ini sangat
aktif. Semakin menjauh kami dari pulau itu, kami diberi salam perpisahan. Salam
perpisahan khas gunung Anak Krakatau. Apalagi kalo bukan lewat letupan dan
suara gemuruh yang dihasilkan. Dia seolah berkata: “selamat jalan dan sampai
jumpa lagi di lain kesempatan”. Rasa cemas dan takut yang sebelumnya kami
rasain, mulai berganti sama rasa iba dan kasihan, kalo kami harus meninggalkan “anak”
ini sendirian di tengah lalutan. Sebenarnya, kami mau berlama-lama main dengannya,
tapi keaktifannya sukses bikin kami ketakutan. Sampai jumpa, Nak di lain
kesempatan!
Alam, khususnya gunung
Anak Krakatau, punya caranya sendiri buat nunjukin keberadaan dan keeksistensian.
Cara mereka kadang gak bisa ditebak apa bentuknya dan diperkirakan kapan
waktunya. Sesuka mereka. Gunung Anak Krakatau ini buktinya. Kami telah mengusik
tidurmu pagi itu, dengan kedatangan kami yang tanpa undangan. Kau terbangun. Kau
tidak diam, tapi kau beri kami sambutan. Sambutan selamat datang yang sebelumnya
gak bisa kami perkirakan. Kau juga beri kami salam perpisahan. Kami akan selalu
ingat sambutanmu, Nak.
Instagram: andrimam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar