Gak jauh dari hiruk-pikuk dan gemerlapnya kota
Jakarta, masih ada saudara-saudara kita yang hidup dengan cara, tradisi, dan
adat mereka yang jauh dari kata mewah. Mereka adalah Baduy. Sebuah suku yang
terletak di provinsi Banten ini hidup dengan caranya sendiri. Hidup dengan
kesederhanaan ala mereka sendiri. Hidup dengan keterbatasan dan terpencil yang
seolah gak mau bersentuhan dengan kata modern. Jalan dan alur hidup yang mereka
pilih, justru jadi magnet dan daya tarik sendiri buat kami. Meskipun secara
‘gaya’ kami berbeda, tapi mereka bakal tetap menyambut kami dengan tangan
terbuka, dan seolah nganggap kami adalah bagian dari mereka. Itu lah yang bikin
kami tertarik buat mengenalnya lebih jauh. Mereka, Baduy.
Baduy, jalan hidup yang mereka pilih selalu
bikin kami tertarik buat mengenalnya lebih jauh dan lebih jauh lagi. Kesederhanaan
hidup yang mereka pilih seakan tak lekang oleh waktu. Membentengi diri dengan modernitas,
membuat waktu seolah tak berjalan dan berlaku di sana. “Benteng” yang mereka buat
untuk menghadang modernitas kayaknya kuat banget, jauh lebih kuat dari
benteng-benteng modern yang dibangun buat menghadapi musuh dalam medan perang,
yang masih bisa dibobol sama berbagai persenjataan. Kau hebat, Baduy.
Kayak yang udah saya sampaikan di atas, suku
yang berada di provinsi Banten ini, terbagi jadi dua, yaitu Baduy Luar dan
Baduy Dalam. Udah banyak tulisan yang ngejelasin perbedaan antara kedua suku
ini, baik yang secara sederhana, maupun yang secara mendalam dan kompleks. Saya
gak akan bahas hal itu lagi. Saya coba melihat Baduy bukan dari perbedaan, dan
bukan dari persamaan mereka. Saya melihat Baduy dari sudut saya sendiri.
Awal Juli 2018, saya
berhasil ke sana bersama kerabat saya. Bulan
Juli, menurut saya adalah waktu yang tepat buat menjelajah Baduy. Kenapa?
Karena buat bisa sampe ke tujuan utama kami, yaitu Baduy Dalam, medan atau track
yang dilalui gak mudah. Jalan tanah setapak yang padat karena pijakan kaki
orang-orang yang pernah mendaki ke sana, kayaknya bakal jadi hal yang
menyulitkan pas kita mendaki di medan yang sama pas lagi musim hujan. Ya, apa
lagi kalo bukan karena masalah jalan yang yang bakal jadi licin, basah, dan
mungkin berlumpur, yang justru itu malah bakal jadi penghambat sendiri buat
kita.
Perjalanan
kami mulai jam satu siang. Kami pilih siang karena itu udah ketentuan dari travel
yang kami pake. Oh, iya, buat bisa sampe ke Baduy dalam, bisa pake travel yang
nyediain trip ke Baduy. Soalnya kalo gak pake jasa travel, kemungkinan
buat bisa sampe sana tepat waktu, gak salah jalur, dan sampe nginep di rumah
warga Baduy dalam kayaknya susah. Rumah-rumah mereka rata-rata udah di-tag
sama jasa travel, kecuali kalo kalian punya kenalan orang Baduy dalam.
Masalah itu kayaknya bisa diatasi.
Sekedar
info, medan atau jalan yang dilalui bukan jalan tanah lurus yang bisa kita liat
ujungnya dari pelupuk mata. Bukan. Jalan yang dilalui itu jalan setapak yang
naik-turun, tanjakan-turunan, kanan-kiri lembah dan jurang, yang kemiringan
medannya bisa mencapai 70 derajat kali. Bisa kebayang gimana kalo jalan itu
dilalui pas musim ujan? Bukannya nakut-nakutin, tapi emang begitu keadannya. Kalo
kalian mau cari aman, dan meminimalisir resiko, mending ke sana pas musim
panas. Ya, tetep ada resikonya sih, apalagi kalo bukan kepanasan yang efeknya
bikin item. Terserah kalian pilih yang mana. Apapun itu, pasti seru kok.
Tongkat
kayu, sandal atau sepatu hiking jadi piranti yang bisa dibilang wajib
buat dipake saat menuju Baduy Dalam. Jangan pernah kepikiran buat pake sepatu
boots, atau “sepatu-sepatu manja” jenis lainnya. Itu salah besar, karena selain
jadi penghambat buat jalan, sepatu kalian juga bakal bisa rusak pas sampe
tujuan. Yang tujuan awalnya pake sepatu jenis itu buat style, biar pas
difoto makin hits ternyata salah besar. Itu bakal jadi boomerang
buat kalian sendiri.
Perjalanan kami terus berlanjut. Tanjakan,
turunan, jembatan, anak sungai, lembah, dan hutan kami lewati. Matahari makin
menuju ufuknya. Obrolan ini-itu terus terdengar. Langkah kami yang makin
melemah, terus dipecut sama motivasi buat terus jalan oleh warga Baduy Dalam
yang menuntun langkah kami. Mereka
yang menuntun kami bukan cuma orang dewasa. Ada beberapa anak-anak dan remaja
Baduy Dalam yang juga menemani dan menyemangati kami supaya terus jalan.
Kaki-kaki mereka keliatannya sangat kuat. Entah terbuat dari apa.
Berjalan tanpa alas kaki di medan yang terjal, panas, dan berbatu. Mereka berjalan tetap kayak biasa, seolah mereka pake
alas kaki khusus mendaki.
Mereka
juga gak kelihatan capek, semburat senyum, tawa, dan candaan sesama mereka
terus mengiringi perjalanan kami. Obrolan dan candaan yang mungkin hanya mereka
sendiri yang paham. Saat mereka berbicara dan bercanda sepanjang perjalanan,
mereka pake bahasa yang mungkin hanya mereka yang paham. Saya hanya mengenal
beberapa kata dalam bahasa Sunda yang mereka pake saat berbicara. Selebihnya?
Hanya mereka yang paham.
Di
lain kesempatan, mereka juga mengikutsertakan kami dalam obrolan mereka, begitu
pula sebaliknya. Kami saling bercakap, bercanda, dan berfoto sama mereka. buat urusan
foto, mereka juga gak malu buat bergaya kok. Ketika mereka berbicara dengan
kami, mereka pake bahasa Indonesia yang kami paham sepenuhnya. Senyum, tawa,
dan candaan anak-anak Baduy Dalam saat menemani perjalanan kami, jadi obat
lelah dan penyemangat bagi kami.
Perjalanan
kami terus lanjutkan, keringat mulai bercucuran, haus mengundang. Saat haus,
kita gak perlu kekurangan minum, karena selama perjalanan – setiap grup atau
kelompok trip – paling gak ada satu penjual air minum yang mengiringi perjalanan
kami. Jadi, gak perlu mikir bawa air berliter-liter karena takut kehausan.
Masalah itu udah teratasi. Pun, kalo gak mau keluar uang buat beli air minum, selama
perjalanan kita bakal sering ketemu sama anak sungai yang alirannya jernih.
Kalo mau nekat, ya, bisa coba minum itu, tapi resiko ditanggung sendiri.
Intinya, gak perlu takut kehausan selama perjalanan menunju Baduy Dalam.
Buat
yang gak mau berat-berat bawa tas bawaan kita, kita juga bisa pake jasa porter.
Portenya gak lain dan gak bukan adalah warga Baduy Dalam yang menemani
perjalanan kita. Terus berapa biayanya? Mereka gak ngasih rate harga
buat jasa yang mereka kasih. Waktu itu, saya juga coba pake jasa porter ini. Setelah tawar-menawar, kami sepakat di harga
Rp60.000 buat jasa porter ini. Jasa ini gak cuma pas berangkat aja, tapi pas
pulang pun mereka bakal bawain barang kita, dan dengan orang yang sama. Ringkas, aman, dan
mudah kan? Mau pake jasa porter atau
enggak, itu balik lagi ke masing-masing. Gak ada paksaan. Kalo kalian beneran
mau coba sensasi hiking dan hemat pengeluaran, ya bisa bawa sendiri.
Tapi, kalo mau ngerasa dipermudah, gak ada salahnya pake jasa porter.
Itung-itung menambah pemasukan bagi warga Baduy Dalam juga.
Jembatan
gantung. Setelah sekian kali nanya ke warga Baduy Dalam: “ini sampenya kapan
sih? Masih jauh ya?” dan jawaban mereka selalu: “udah deket kok”.
Entah definisi deket mereka itu kayak apa. Akhirnya, kami sampai di sebuah
jembatan gantung besar. Jembatan gantung yang terbuat dari bambu utuh yang
disusun dan diikat dengan tali alam, rotan, dan serabut. Jembatan gantung besar
yang di bawahnya adalah aliran sungai jernih. Sungai dengan riak-riak air yang
beradu dengan bebatuan sungai. Sungai yang jadi salah satu sumber kehidupan
suku Baduy.
Jembatan
gantung besar ini menurut tuturan mereka adalah pembatas antara Baduy Luar
dengan Baduy Dalam. Dan, jembatan ini pula yang jadi batas antara dunia luar
dengan kehidupan Baduy Dalam yang seutuhnya. Segala alat elektronik dan
komunikasi udah gak boleh dipake lagi. Stop! Dan selamat datang di
wilayah Baduy Dalam. Sebelum lanjut berjalan ke tujuan utama kami, desa Cibeo,
Baduy Dalam, kami dipersilakan buat menyegarkan diri dengan membasuh diri di
aliran sungai itu. Rasanya gak usah ditanya. Seger pol!
Dari
jembatan itu udah deket dong berarti ke tujuan? Kalo ikutin kata anak-anak
Baduy Dalam, ya, mereka pastinya bilang: “tinggal deket lagi”.
Jangan
pikir setelah masuk wilayah Baduy Dalam medannya jadi lebih gampang ya. Salah.
Justru, medan yang “disuguhin” lebih menantang lagi. kita bakal ketemu
tanjakan-turunan-tanjakan-turunan yang gak abis-abis. Ditambah lagi, kita
dikejar waktu. Semakin lama jalan, resikonya, kita bakal jalan ke tujuan dengan
cahaya minim, karena hari makin sore, dan udah menjelang senja, dan gelap. Suara-suara serangga
khas sore hari mulai menemani perjalanan kami. Itu tanda, hari makin sore. Dan
kami harus mempercepat langkah.
Setelah melewati medan yang terjal, akhirnya
kami mulai masuk ke medan yang landai. Sesekali
kami bisa mendengar suara riak air sungai yang menyejukkan. Beberapa saat, kami
lihat dari kejauhan atap-atap rumah yang terbuat dari bahan alam. Kami senang.
Akhirnya kami sampai tujuan, dan masih ada cahaya matahari. Tapi, salah. Yang
kami lihat bukan rumah-rumah warga, tapi itu adalah lumbung persediaan bahan
makanan mereka, yang mereka dapat dari hasil bertani dan berladang. Rumah-rumah
panggung mungil berukuran gaklebih dari 3 meter (kayaknya) buat setiap sisinya
ini, tersebar beberapa dalam satu kawasan. Uniknya dari lumbung ini, ada
teknologi tradisional yang warga Baduy Dalam terapin.
Teknologi
yang saya rasa diciptain buat mencegah masuknya hama pengerat buat masuk ke
dalam lumbung mereka. Tiang penyangga lumbung dibuat pipih di bagian pangkal
tiangnya. Dengan bentuk kayak itu, binatang pengerat kayak tikus hutan gak bisa
memanjat, karena secara otomatis mereka akan terjatuh saat sampai dan mencoba naik
dan masuk ke dalam lumbung. Sederhana, tapi keren dan berguna.
Udah
masuk ke kawasan lumbung makanan, itu tandanya tujuan kami udah gak jauh. Ini beneran
udah gak jauh. Logikanya, mereka gak mungkin nyimpen persediaan makanan, jauh
dari lokasi mereka tinggal. Bener. Gak lama dari sana, kami mendengar suara
teriakan anak-anak yang lagi bermain, dan suara air sungai yang makin jelas. Oh, ini udah mau
sampe nih. Cahaya matahari masih ada, meskipun udah mulai redup. Senja. Kami sampai
di lokasi desa Cibeo, Baduy Dalam di waktu yang tepat. Selamat datang di desa
Cibeo, Baduy Dalam.
Sebelum
masuk ke pemukiman warga, kami harus melewati jembatan gantung yang misahin wilayah
ladang dengan pemukiman. Yang kami lihat dari ujung jembatan itu bener-bener rumah,
bukan lumbung makanan. Rumah panggung dengan atap dari jerami dan dedaunan,
dengan dinding dari anyaman, saling berhadap-hadapan. Rumah yang dipisahin
dengan jalan setapak yang disusun dari bebatuan sungai. Rapi, asri, sejuk. Dan kayak
yang saya bilang sebelumnya, kayaknya rumah warga udah di-tag sama
setiap travel buat disewa. Rumah-rumah di sana kayak hasil membelah diri
atau kayak anak kembar, sama persis satu-sama-lain.
Di
jalan setapak itu anak-anak Baduy Dalam kejar-kejaran sesama mereka. Sembunyi di
antara rumah-rumah. Itu udah jadi kebahagian bagi mereka. Gak ada kata mainan
modern, hanya kejar-kejaran. Beberapa anak bermain, tapi dengan mainan sederhana
yang mereka ciptain. Bahagia itu sederhana. Para remaja, terutama remaja
wanita, duduk-duduk di ujung tangga masuk rumah mereka, sambil sesekali memainkan
rambut mereka yang masih basah setelah mandi. Wajah-wajah mereka khas. Perpaduan
antara kulit putih dan kuning langsat, seolah melihat orang-orang Himalaya,
tapi ini di Indonesia, dan di Baduy khusunya.
Hari
makin gelap, suara serangga malam semakin terdengar, yang saya rasa hanya
ketenangan. Cahaya kuning yang dari sumber lampu alami, mulai keliatan. Saya tenang,
kami tenang. Ketenangan yang saya rasa pas buat membayar rasa capek setelah
beberapa jam berjalan. Ketenangan tanpa gangguan dari luar, dari barang
elektronik, bahkan alat komunikasi yang selama ini kita dapat. Saya gak butuh
itu semua di sini.
Rumah
mereka unik. Saat baru masuk rumah, yang kami lihat pertama itu dapur yang ada di
sebelah pintu masuk rumah. Rumah berbentuk persegi panjang dengan satu ruang
utama, dan satu kamar tidur. Rumah mereka sederhana. Gak ada barang-barang modern
yang jadi pajangannya. Penerangan seadanya yang terbuat dari bahan alam, entah dari
getah karet atau apa. Cuma ada dua cahaya di rumah itu, satu di dapur yang
terus mengepul dengan asap masak, dan satu lagi di kamar mereka. Kami, para
wisatawan diijinkan buat tidur di ruang utama mereka, yang mungkin kalo di
rumah modern kita sebut sebagai ruang keluarga.
Makan
malam udah disiapkan oleh si punya rumah. Mereka menjamu kami kayak kita
menjamu tamu yang datang ke rumah kita. Mereka makan apa yang kita makan, dan
mereka makan di waktu yang sama saat kami makan. gak ada perbedaan di antara
kami. Kami menyatu. Makan malam yang disuguhkan ke kami sama kayak makanan di
kota, ada mie instan, ayam goreng, dan nasi. Jangan pikir kalo kita ke sana bakal
diberi makan yang aneh-aneh ya, sama kok. Makan usai, malam makin
larut, udara dingin hutan mulai masuk dari celah-celah bilik rumah. Gak terasa
kami terlelap.
Pagi datang. Sekarang gantian, cahaya pagi
matahari yang masuk dari celah-celah bilik. Itu adalah alarm kami buat bangun. Sayang
rasanya, kalo ninggalin momen pagi di Baduy Dalam cuma tidur-tiduran aja. Kami beranjak melihat sekitar. Udara pagi sejuk yang
gak pernah dirasain di perkotaan, bisa kita rasain di sini. Baduy, kau begitu
asri. Berkeliling ke rumah-rumah lain, menyapa warga sekitar, dan melihat
kesibukan wisatawan lain yang juga mencoba apa yang kami lakuin. Berkeliling. Sama,
semua sama. Sampe di satu titik, saya melihat lapangan berumput luas, dengan jalan
setapak yang masih terbuat dari bebatuan sungai. Di ujung lapangan, saya
melihat satu rumah dengan pekarangan rumput, pohon, dan bunga yang bermekaran
di pekarangannya. Rumah yang salah satu sisinya ada di tebing. Rumah dengan pagar
tertutup dari bambu. Itu rumah kepala
desa. Kami, para wisatawan gak bisa memasuki atau mendekat ke rumah itu. Entah apa
alasanya, tapi kami tetap mengikuti peraturan setempat buat gak mendekat ke sana.
Oh,
iya, di rumah mereka gak ada toilet atau kakus. Kalo mau mandi, atau buang air,
warga Baduy, bahkan kami para wisatawan harus jalan ke sungai yang adanya di
belakang pemukiman. Jangan khawatir, antara wanita dan pria dipisah kok areanya,
dan jaraknya bejauhan. Buat buang air sendiri, ada lagi tempatnya, gak searea
sama tempat mandi. Jadi, aman. Buat kami yang datang dari luar, awalnya ngerasa
sungkan buat ngelakuin hal itu di alam terbuka, tapi kondisi menutut, dan ego
harus dikalahkan. Rasanya? Gak kebayang sebelumnya, ada sensasinya sendiri,
kalo kalian ke sini, mesti coba hal ini. Sejuk, dingin, dan seger, itu yang
kami rasain setelah mandi dan bersih-bersih di sungai ini. Tambahan, Baduy Dalam
ngelarang para wisatawan buat pake sabun, sampo, dan peralatan mandi lainnya
yang terbuat dari bahan kimia. Apa bisa? Apa nyaman? Bisa! Mandi tanpa sabun dan sampo
di sungai ini, bisa banget, dan tetep seger. Itu pagi kami di Baduy Dalam.
Gak
lama, karena tuntutan jadwal, kami harus bergegas pulang. Perjalanan panjang
dan serupa kayak pas menuju ke desa Cibeo, harus kami lakuin lagi. kami mulai
perjalanan pulang sekitar jam setengah sepuluh pagi. Kami pake jalur yang beda
dengan jalur pendakian. Saat tengah hari, kami mulai melihat pemukiman modern,
suara motor, dan lebar. Tandanya, kami sudah ninggalin wilayah Baduy. Beberapa
jam penurunan, kami tetap disuguhin sama pemandangan hijau di kanan-kiri kami,
dan suara aliran sungai yang gak ada abisnya menemani kami.
Baduy
Dalam dengan segala pesonanya berhasil bikin kami betah dan berasa kerasan di
sana. Merasa jadi bagian dari mereka, bukan cuma saya yang ngerasain. Keramahan
dan keterbukaan mereka dengan kami, berhasil mengalihkan perhatian kami, dan
bikin kami lupa dengan keadaan di luar sana. Dengan segala peraturan adat yang
membatasi kami buat mendokumentasikan kehidupan mereka dari balik lensa, saya
kira bukan masalah. Dokumentasi yang paling penting dalam perjalanan ini bukan
ada di memori kamera, tapi tersimpan rapi di dalam memori kepala. Terima kasih,
Baduy.
Catatan: semua gambar yang ada diambil di
wilayah Baduy Luar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar